Wednesday, January 25, 2012

Tragedi yang Menggemparkan

Mobil


Siapa yang tidak tahu tentang tragedi mobil Xenia yang menewaskan 9 orang dan beberapa korban luka lainnya. Saya yakin, hampir semua orang sudah melihat bagaimana wajah seorang Afriani atau Apriani, si pengendara mobil Xenia tersebut.


Hampir semua media memberitakan hal yang sama, baik dari urutan kejadian, memperlihatkan jasad-jasad korban, mewancarai dan menanyakan bagaimana perasaan dari keluarga korban *ya menurut lo???* dan yang belakangan sedang banyak beredar, video amatir saat kejadian tersebut berlangsung.

Sebagian besar orang, pemirsa media tersebut, keluarga dan teman-teman korban, bahkan orang-orang di sekeliling saya yang tadinya tidak tahu siapa dan apa yang dikerjakan oleh seorang Afriani di kesehariannya, mulai menghujat, mencaci bahkan mengucapkan sumpah serapah yang ditujukan pada Afriani. Apalagi setelah Afriani terbukti positif telah menggunakan obat terlarang sebelum mengemudikan mobil hari itu.

Wajah Afriani disorot dengan tajam oleh banyak kamera media. Wajah yang katanya, dingin dan tidak ada penyesalan, kalau menurut berita yang beredar.

Saya, tidak melihat semua berita tentang tragedi ini di setiap berita. Saya, juga memilih untuk tidak menonton video amatir tersebut. Dan saya, berusaha sekali untuk tidak membicarakannya dengan teman-teman kantor saya, agar tidak berakhir dengan perdebatan panjang.

Tidak bisa disalahkan, jika hampir semua orang yang mendengar tragedi ini, akan menunjuk Afriani sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Tapi, pernahkah mereka berpikir, kalau tragedi tersebut bukan keinginan Afriani? Semua orang memberikan rasa kasihan, simpati dan empati untuk para korban. Pernahkah mereka berpikir, bahwa Afriani pun patut memdapatkan semua rasa dari kita, selain rasa marah?

Bukan. Saya bukan pembela Afriani. Saya juga tidak akan berkata bahwa Afriani tidak bersalah. Saya hanya ingin memberikan sedikit, sedikiiiit saja pandangan, bahwa Afriani juga patut diberi kata-kata yang lebih baik dari sekadar cercaan, hinaan dan makian. Apa kita tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Afriani, yang sepanjang sisa hidupnya, harus menanggung label sebagai seorang “pelaku tragedi Tugu Tani”?

Saya yakin, Afriani juga tidak ingin semua ini terjadi. Ketika hidup dan matinya seseorang sudah merupakan ketentuan Tuhan, mengapa seorang Afriani menjadi “malaikat pencabut nyawa” dengan cara yang tragis seperti ini? Hanya Tuhan yang tahu. Lalu, mengapa wajah Afriani tidak menunjukkan penyesalan? Ah, hati orang, siapa yang bisa tahu? Hanya Tuhan yang tahu.

Dan karenanya, saya bungkam. Tidak memberikan sedikitpun suara ketika semua orang membicarakannya. Biarkan saja, semua orang berhak menilai. Begitupun saya.

No comments: