Mobil |
Siapa yang tidak tahu tentang tragedi mobil Xenia yang menewaskan 9 orang dan beberapa korban luka lainnya. Saya yakin, hampir semua orang sudah melihat bagaimana wajah seorang Afriani atau Apriani, si pengendara mobil Xenia tersebut.
Hampir semua media memberitakan hal
yang sama, baik dari urutan kejadian, memperlihatkan jasad-jasad korban, mewancarai
dan menanyakan bagaimana perasaan dari keluarga korban *ya menurut lo???* dan
yang belakangan sedang banyak beredar, video amatir saat kejadian tersebut
berlangsung.
Sebagian besar orang, pemirsa media
tersebut, keluarga dan teman-teman korban, bahkan orang-orang di sekeliling
saya yang tadinya tidak tahu siapa dan apa yang dikerjakan oleh seorang Afriani
di kesehariannya, mulai menghujat, mencaci bahkan mengucapkan sumpah serapah
yang ditujukan pada Afriani. Apalagi setelah Afriani terbukti positif telah menggunakan
obat terlarang sebelum mengemudikan mobil hari itu.
Wajah Afriani disorot dengan tajam
oleh banyak kamera media. Wajah yang katanya, dingin dan tidak ada penyesalan,
kalau menurut berita yang beredar.
Saya, tidak melihat semua berita
tentang tragedi ini di setiap berita. Saya, juga memilih untuk tidak menonton
video amatir tersebut. Dan saya, berusaha sekali untuk tidak membicarakannya dengan
teman-teman kantor saya, agar tidak berakhir dengan perdebatan panjang.
Tidak bisa disalahkan, jika hampir semua orang
yang mendengar tragedi ini, akan menunjuk Afriani sebagai pihak yang
bertanggung jawab.
Tapi, pernahkah mereka berpikir,
kalau tragedi tersebut bukan keinginan Afriani? Semua orang memberikan rasa
kasihan, simpati dan empati untuk para korban. Pernahkah mereka berpikir, bahwa
Afriani pun patut memdapatkan semua rasa dari kita, selain rasa marah?
Bukan. Saya bukan pembela Afriani. Saya
juga tidak akan berkata bahwa Afriani tidak bersalah. Saya hanya ingin
memberikan sedikit, sedikiiiit saja pandangan, bahwa Afriani juga patut diberi
kata-kata yang lebih baik dari sekadar cercaan, hinaan dan makian. Apa kita
tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Afriani, yang sepanjang sisa
hidupnya, harus menanggung label sebagai seorang “pelaku tragedi Tugu Tani”?
Saya yakin, Afriani juga tidak
ingin semua ini terjadi. Ketika hidup dan matinya seseorang sudah merupakan
ketentuan Tuhan, mengapa seorang Afriani menjadi “malaikat pencabut nyawa”
dengan cara yang tragis seperti ini? Hanya Tuhan yang tahu. Lalu, mengapa wajah
Afriani tidak menunjukkan penyesalan? Ah, hati orang, siapa yang bisa tahu? Hanya
Tuhan yang tahu.
Dan karenanya, saya bungkam. Tidak memberikan
sedikitpun suara ketika semua orang membicarakannya. Biarkan saja, semua orang
berhak menilai. Begitupun saya.
No comments:
Post a Comment